Dr. KH. Ahmad Darodji, pendiri UIN Walisongo: NU berjasa dalam Pendirian IAIN UIN se Indonesia

1



Dr. KH. Ahmad Darodji, sosok sepuh kelahiran Semarang 31 Agustus 1940 ini seperti tak pernah lelah, nyatanya di usianya yang beberapa bulan lagi telah menginjak 80 tahun ini masih sarat dengan beragam aktifitas sosial dan keagamaan serta berbagai jabatan yang masih melekat.

Salah satu tokoh pendiri Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang ini justru memiliki kesempatan membagi waktu dengan segudang aktifitasnya. “Betul itu, semakin banyak aktifitas maka semakin banyak kesempatan membagi waktu,” tuturnya kepada AULA, pernyataan tersebut juga sebagai klarifikasi (tashih) atas pernyataan rektor UIN Walisongo, Prof. KH. Imam Taufiq yang juga menyaksikan keseharian Kyai Darodji (sapaan akrabnya).

Resep Bugar dan Produktif

Ketika diminta menyebutkan rahasia tampil bugar dan produktif di usia senja, sosok yang dipercaya sebagai ketua Basnaz Jawa Tengah ini memberikan dua klue, yakni dari sisi lahir dan batin (luar dan dalam).

Dari sisi batin, Kyai Darodji menyebutkan bahwa dirinya merasa senang jika bisa membuat orang lain senang. Hal ini telah menjadi prinsip dan dijalani dari dulu hingga sekarang, membuat orang lain senang menurutnya banyak caranya, salah satunya dengan menghadiri undangan orang lain. “Saya tidak bisa menolak orang undangan orang,” terangnya. Terkait undangan, dalam sehari kadang dirinya harus moving atau berpindah tempat undangan sebanyak lima tempat.

Sedangkan dari sisi lahir, pensiunan IAIN Walisongo Semarang 1997 ini berusaha menjaga agar tubuhnya senantiasa bergerak. “Saya sengaja tidak mencari asisten rumah tangga,” imbuhnya. Maka semua pekerjaan rumah tangga seperti mengepel lantai, mencuci baju, dan lain sebagainya ia kerjakan sendiri bersama istri tercinta, Musbandiyah.

Keturunan pejuang NU

Semangat perjuangan Kyai Darodji tampaknya turun dari ayahnya, KH Muhammad Badruddin Honggowongso. Sang ayah merupakan tokoh pejuang dan Rois Syuriah NU Jawa Tengah pada masanya, yang menurut Gus Mus sebagai pengurus yang aktif dan rajin. “Beliau jadi Rais Wilayah Jawa Tengah itu sregep. Bahtsul Masail tidak pernah absen dan aktif. Kan banyak itu, Rais Syuriah yang datang tapi tidak aktif atau tidak siap. Aktif dalam pengertian kalau ada masalah ditelaah dulu, dan datang ke bahstul masail sudah siap dengan argumen, dengan ma’khod sak piturute. Beliau ini teliti!,” kenang Gus Mus sebagaimana ditulis NU Online.

Masa kecil Kyai Darodji hidupnya berpindah-pindah, belum genap usia lima tahun sudah diajak ayahnya hijrah ke Prambanan Klaten, setelah sebelumnya transit di Prembun (Kebumen) dan Solo, perpindahannya sehubungan dengan pergolakan kemerdekaan RI. Setelah hampir sepuluh tahun di Prambanan, ia diajak ayahnya pindah lagi ke Solo pada tahun 1950 ke Solo.

Pendidikan yang dienyam dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) Al-Islam Solo atau Ibtidaiyah Al Islam Solo, sekolah untuk pribumi ini dilakoni hanya tiga tahun, mulai tahun 1951 hingga 1953, “saya termasuk orang yang bisa loncat dari kelas satu ke kelas tiga, kelas tiga ke lima, mungkin karena umur,” kenangnya.

Selepas sekolah di SR, dirinya melanjutkan ke SMP Cokroaminoto dan SMA Diniyah Cokroaminoto Solo. Selanjutnya pada tahun 1959 diterima di sekolah persiapan IAIN (SPIAIN) Yogyakarta, yang baru tahun tersebut berdiri.

Kyai Darodji sebenarnya sudah merampungkan skripsi sebagai syarat kelulusan pada tahun 1955, namun terganjal karena ada peristiwa pemberontakan PKI, baru pada pada tahun 1966 ia menyelesaikan studinya, dan saat lulus nama perguruan tingginya perguruan tingginya sudah bukan lagi SPIAIN namun sudah berubah nama menjadi Institut Agama Islam negeri (IAIN) Sunan Kalijaga.

Pendidikan pasca sarjana ditempuh di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang program studi Administrasi Publik, lulus pada tahun 2002 dan doktoral di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.

Mendirikan IAIN Walisongo bersama tokoh-tokoh NU

Selepas lulus dari IAIN Sunan Kalijaga, Kyai Darodji kembali ke Semarang. Disinilah babak baru sejarah hidupnya, yaitu mulai aktif di sosial dan keagamaan. Sebagai fresh graduate ia langsung diberikan amanah sebagai kepala sekolah, yaitu Sekolah Persiapan IAIN (SPIAIN) yang letaknya di daerah Mugas Semarang. Pelantikannya bersamaan dengan upacara peringatan hari pahlawan propinsi Jawa Tengah pada tanggal 10 November 1966.

SPIAIN tersebut yang merupakan cikal bakal Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang berdiri berkat inisiasi beberapa tokoh pimpinan NU Jawa Tengah saat itu, seperti Kiai Zubair, Kiai Ali Mashar, Kiai Imam Sofwan, bapak Masdar Hilmi, dan ayah kyai darodji yaitu kyai Badrudin Honggowongso, termasuk dirinya sendiri.

Kyai Darodji mejelaskan bahwa untuk membentuk IAIN, para tokoh NU tersebut awalnya merintis satu fakultas yakni fakultas Ushuludin cabang IAIN Sunan Kalijaga yang di Semarang, “saya ikut membawa naskahnya ke Jakarta,” tegasnya. Namun, beberapa tokoh lain seperti H. Sunarto Notowidagdo (Bupati Kudus saat itu) menginginkan langsung mendirikan IAIN Walisongo, bukan sebagai cabang IAIN Sunan Kalijaga.

Untuk mewujudkannya maka para tokoh dan kyai NU tersebut kemudian bergerak ke daerah-daerah dan bertemu serta berkonsolidasi dengan para kiai NU setempat, seperti Salatiga, Kudus, Tegal, Bumiayu dan lain sebagainya. Hingga tercetuslah beberapa fakultas di daerah yaitu fakultas Tarbiyah di Salatiga, fakultas Usuhuludin di Kudu, fakultas Syariah di Demak, fakultas Dakwah di Semarang, fakultas Syariah di Bumiayu, dan fakultas Ushuluddin di Tegal. “Semua sudah didirikan sebagai fakultas (rintisan IAIN walisongo) tapi masih swasta,” tegas ketua MUI Jateng ini. Hingga pada April 1970 resmi berdiri IAIN Walisongo dengan rektor pertamanya yaitu kyai Zubair.

Berharap NU Tetap Ngopeni IAIN

Kyai Darodji menuturkan bahwa berdirinya IAIN walisongo Semarang adalah inisiatif penuh tokoh NU Jawa tengah, bahkan kyai Zubair rektor pertama yang juga termasuk pendiri IAIN Walisongo adalah ketua tarikhat muktabarah. Ada juga nama lain yaitu kyai Saliyun, tokoh Ansor dan aktivis pers saat itu yang turut berjuang bersama kyai Darodji merintis pendirian IAIN Walisongo Semarang. (Kyai Saliyun saat ini juga masih sehat dan aktif membesarkan majalah AULA di Jawa Tengah)

Tak hanya di Semarang, IAIN dan UIN di tempat lain menurutnya juga berdiri atas prakarsa dari tokoh-tokoh NU setempat. “IAIN bukan murni dari pemerintah, dari semua IAIN yang ada di Indonesia yang merintis adalah anggota NU, maka NU jangan lupa ngopeni,” tegasnya.

Sebagai pelaku sejarah dirinya mengkritik pihak NU, dalam hal ini jajaran struktural NU, menurutnya pihak NU kurang menyadari fenomena yang berkembang saat ini, yaitu NU banyak membidani lembaga-lembaga atau institusi, namun selanjutnya setelah lembaga dan institusi yang berkembang lantas ditinggalkan begitu saja.

Ia mencontohkan, ada sebuah lembaga warisan NU di Salatiga yang dulu direncanakan menjadi universitas NU, seiring berjalannya waktu kurang diperhatikan pihak NU, walhasil kini rumornya lokasi tersebut tidak dijadikan perguruan tinggi NU bahkan beberapa tanahnya telah dikembangkan sebagai lembaga sekolah pendidikan yang diluar afiliasi NU

Mengkritik NU, Semua Harus dirangkul!

Selain memperhatikan lembaga dan institusi warisan NU, menurutnya NU baik struktural maupun kultural harus bersikap dan bertindak yang terbaik sesuai porsi dan kapasitas masing-masing. Khususnya kepada struktural ia menekankan agar lebih memperhatikan dan mengapresiasi pada tokoh-tokoh NU meskipun NU kultural.

“Seharusnya NU (struktural) mengapresiasi pada tokoh-tokoh NU baik kultural maupun struktural, jadi orang yang berjasa diberikan reward,” tutur salh satu pendiri Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) ini. Reward atau penghargaan menurutnya tidak harus dalam bentuk materi, dalam bentuk pengakuan saja ataupun mungkin selembar kertas pun sudah sangat berarti.

Dirinya juga berpendapat bahwa karena NU di kultural lebih banyak maka NU struktural harus sadar dan merangkul NU kultural, tidak lantas ditinggalkan begitu saja. “Wong dengan yang lain (NU) saja dirangkul, apalagi dengan sesama NU,” lanjutnya. Sedangkan NU kultural atau yang tidak masuk kepengurusan NU juga harus menyadari bahwa struktur kepengurusan itu terbatas, dan harus didukung.

Warga NU menurutnya juga bisa masuk ke berbagai lini dan instansi, termasuk dalam berpolitik. Justru dengan itu menjadikan NU kuat di segala bidang dan mewarnai. Dirinya mencontohkan, saat menjabat sebagai salah satu ketua komisi DPRD Jawa Tengah dari Golkar saat itu, ia meminta seluruh anggota dewan yang muslim untuk mengaji dan membaca hadits setiap mengawali rapat komisi.

Sumber: Majalah AULA edisi Pebruari 2020

Tags

Posting Komentar

1 Komentar
  1. Semoga beliau dalam kondisi sehat walafiat, dan bisa menjadi panutan kita.

    BalasHapus
Posting Komentar

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top